MENILIK
POTENSI RAWA DAN HUTAN MANGROVE
TAMAN
NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN
SEBAGAI
DAERAH PENYERAPAN KARBON
Oleh: Erie Agusta & Andres Saputra
Sumber: www.dephut.go.id |
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki
wilayah rawa yang cukup luas. Menurut
Wijayana (2010) dalam Saputra
(2012:1), menyatakan bahwa wilayah Sumatera Selatan mempunyai luas
wilayah sekitar 40.061 hektar, uniknya lebih dari 22.000 hektar (setengahnya)
merupakan kawasan rawa. Rawa
sendiri merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, penggenangannya
dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi)
(Noor, 2007:1). Menurut MacKinnon et al (2000) dalam Noor
(2007:2), jenis rawa yang
terdapat pada Sumatera Selatan tergolong ke dalam rawa lebak, rawa lebak dikatagorikan
sebagai danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai dan
selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar sekitarnya. Selain
karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat
atau juga banjir kiriman. Sifat ekologi rawa lebak tak terlepas
dari bagian ekosistem air tawar, sifat tersebut antara lain berfungsi
menyediakan nutrisi untuk organisme akuatik, terutama kelompok nekton
(ikan-ikan), tidak hanya itu fungsi lingkungan rawa lebak juga
meliputi pencegah banjir dan kekeringan, pemendam karbon, penyimpan dan pendaur
air, pencegah gas rumah kaca, penawar pencemaran pedosfer dan hidrosfer, dan
sebagai keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah (Noor, 2007:122). Melihat
potensi tersebut, rawa lebak memiliki arti yang sangat penting sebagai
penanggulangan global warming yang
semakin meningkat, apalagi dengan melihat vegetasi gambut yang subur di wilayah
rawa lebak ini, membuat arti penting rawa lebak di Sumatera Selatan semakin
bernilai. Berdasarkan pernyataan Notohadinegoro (1966) dalam Noor, (2007:124), pelepasan
karbon di atmosfer setiap hektar hutan yang dibuka dan digunakan sebagai perladangan,
dapat dikonvensasi oleh pemendaman karbon dalam 190 hektar lahan gambut setiap
tahun, dan diperkirakan 20% dari total global karbon di dunia terpendam (stroge) dalam bentuk gambut (Noor,
2007:124).
Lahan
basah pesisir (coastal lowlands)
Indonesia memiliki luasan dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar, sekitar 27% dari
luas ekosistem mangrove dunia, berada di Indonesia, dari luas tersebut terluas
terdapat di Irian sekitar 38,2%, Kalimantan 27,7% dan Sumatera 19,1%
(Kusmana,1995; PPK, 2005; DJPHKA, 2008 dalam Hastiana dan Lulu
2012:1).
Apalagi, ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi
(Nontji, 2005 dalam Hastiana dan Lulu,
2012:2). Sebagai salah suatu kawasan
hutan, tentunya keberadaan mangrove sangatlah penting sebagai salah satu
paru-paru dunia dalam penyerapan karbon, keberadaan hutan ini tentunya juga
didukung oleh komponen biotik yang ada di hutan mangrove tersebut, seperti alga
hijau dan tumbuhan lainnya yang berperan dalam penyerapan karbon. Oleh karena
itu, pemanfaatan dari hutan ini harus dilaksanakan secara rasional, dan pada
akhirnya komponen pendukung (carring
capacity) seperti ekologis, sosial, budaya dan ekonomi memegang peran penting
untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem mangrove tersebut (Bahar,2004;
Noor,2009; Rauf,2008 dalam Hastiana
dan Lulu, 2012:2).
Sumber: www. google.com |
Pemanasan global atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan global warming merupakan suatu pristiwa naiknya
suhu udara yang bersifat global, kenaikan suhu udara ini diakibatkan oleh akumlasi
karbon di atmosfer yang membuat panas bumi semakin meningkat. Terjadinya akumulasi karbon di atmofer sendiri
tidak terlepas dari aktivitas manusia seperti penebangan hutan yang meluas,
peningkatan pemakaian sistem-sistem produksi/industri atau transportasi yang
mendorong terjadinya kenaikan suhu udara di tempat berlangsungnya kegiatan
tersebut dan bahkan di belahan bumi lain (Asdak, 2002 dalam Alfitri: 2010:12). Selain dari itu akumulasi karbon yang
terjadi diatmosfer juga diakibatkan oleh peristiwa efek rumah kaca, peristiwa
ini merupakan peristiwa alamiah yang kejadiannya mirip dengan pantulan panas di
dalam rumah kaca yang digunakan petani menanam sayuran pada musim dingin di negara
yang mengenal 4 musim (Rohiyat, 2012:3). Proses ini tergambar sebagai bentuk sinar
matahari yang masuk untuk membantu proses aimilasi semestinya terpantul ke
atmosfer secara sempurna, akan tetapi, adanya bilik kaca dan atap kaca
tersebut, maka panas yang seharusnya terpantulkan kembali terjebak di dalam
ruang tersebut sehingga suhu udara di dalam bilik kaca (ruangan) tersebut naik
dan menjadi hangat (Wardhana, 2010 dalam Rohiyat
2012:3). Sejak akhir abad 18 suhu rata-rata global bumi telah meningkat sekitar
0,4-0,8°C, para ilmuwan memperhitungkan bahwa suhu rata-rata bumi akan
meningkat menjadi 1,4-5,8°C pada tahun 2100. Nilai peningkatannya menjadi lebih
besar dibandingkan dengan nilai-nilai peningkatan yang pernah terjadi
sebelumnya (Merbabu, 2011 dalam Roiyat,
2012; 4).
Sumber: www.google.com |
Dampak dari pemanasan global (global warming) cepat atau lambat akan dirasakan manusia, bahkan
tanda-tanda akibat pemanasan global sudah mulai terasa sebagai ancaman bagi
umat manusia. Dampak pemanasan global merupakan masalah serius yang harus
diatasi secara bersama oleh semua negara, baik negara berkembang seperti
Indonesia, maupun negara maju seperti Cina dan Amerika Serikat. Dampak pemansan
global ini secara luas meliputi aspek atmosfer, hidrosfer, geosfer, dan bioesfer
(Wardhana, 2010:83). Aspek atmosfer dirasakan sebagai bentuk perubahan musim,
banjir dan tanah longsor, kekeringan dan bencana kelaparan, siklon tropis dan
bencana angin ribut (Wardhana, 2010:86). Dampak hidrosfer dirasakan sebagai
bentuk berkurangnya luas daratan kutub (terutama kutub selatan), tingginya
permukaan air laut, kadar garam dan suhu air laut berubah, dan permukaan air
tanah berubah (Wardhana, 2010:94). Dampak aspek geosfer dirasakan sebagai
bentuk pergeseran wilayah daratan yang berkurang akibat kenaikan air laut yang
memasuki wilayah daratan, bahkan bisa sebaliknya luas suatu wilayah akan
semakin bertambah akibat kekeringan yang semakin menjadi, lahan subur menjadi
tandus dan bisa menjadi padang pasir (Wardhana, 2010:97). Dampak dalam aspek
biosfer, diarasakan sebagai bentuk perubahan yang akan terjadi bagi flora,
fauna dan manusia yang ada di planet ini (Wardhana, 2010:101).
Dengan melihat
potensi rawa dan hutan mangrove Taman Nasional Sembilang yang dimiliki oleh
Sumatera Selatan, tentunya sangatlah penting untuk tetap mejaga kelestarain dan
mengkonservasi wilayah rawa dan hutan mangrove yang sebagian sudah habis akibat
aktivitas pembangunan dan penebangan liar. Perlunya keterkaitan pemerintah provinsi,
pemerintah daerah, para stakeholder,
dan peran masyarakat untuk terus mengembangkan dan mentaati peraturan
pembangunan yang tetap memperhatikan aspek lingkungan sebagai penyeimbang
ekologi. Pada akhirnya, ketika semua telah bekerja sama, semua ini akan menjadi
rangkaian yang saling membangun antara pembangunan ekonomi dan lingkungan.
Sumber Rujukan:
Hastiana,
Yetty., dan Yuningsih, Lulu. 2012. Studi Pemahaman Dan Pengetahuan
Masyarakat yang Bermukim di Zona Pemanfaatan dan Zona Tradisional terhadap Kawasan Konservasi Taman
Nasional Sembilang, Sumatera Selatan. Makalah
ini Disampaikan pada Seminar Nasional
Biologi di Universitas Sumatera Utara Medan. Tanggal 10-11 Mei 2012. Tidak
dipublikasikan.
Noor,
Muhammad. 2007. Rawa Lebak. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Saputra,
Andres. 2012. Kelimpahan dan Diversitas Alga Hujia (Chlorophyta) Berdasarkan Kondisi Akuatik pada Ekosistem Rawa
Jakabaring Paembang serta Pengajaranya di SMA Muhammadiyah 3 Palembang. Skirpsi tidak diterbitkan. Palembang:
Universitas Muhammadiyah Palembang.
Susanta, Gatut., dan Sutjahjo Hari. 2008. Pemanasan Global. Jakarta:Penebar Swadaya.
Rohiyat. 2012.
Estimasi Kandungan Karbon pada Vegetasi Paku-Pakuan di Ekosistem Rawa Jakabaring
Palembang serta Pengaarannya di SMA Muhammadiyah 3 Palembang. Skirpsi tidak diterbitkan. Palembang:
Universitas Muhammadiyah Palembang.
Wardhana,
Wisnu Arya. 2010. Dampak Pemanasan
Global. Yogyakarta: ANDI.