Welcome To My Blog

Semua Berawal dari Sebuah Kemauan untuk Menjadi Pribadi yang Lebih Baik,.

Sabtu, 02 Juni 2012


MENILIK POTENSI RAWA DAN HUTAN MANGROVE
TAMAN NASIONAL SEMBILANG SUMATERA SELATAN
SEBAGAI DAERAH PENYERAPAN KARBON

Oleh: Erie Agusta & Andres Saputra


Sumber: www.dephut.go.id
Sumatera Selatan merupakan salah satu provinsi yang memiliki wilayah rawa yang cukup luas. Menurut  Wijayana (2010) dalam Saputra (2012:1), menyatakan bahwa wilayah Sumatera Selatan mempunyai luas wilayah sekitar 40.061 hektar, uniknya lebih dari 22.000 hektar (setengahnya) merupakan kawasan rawa. Rawa sendiri merupakan sebutan bagi semua lahan yang tergenang air, penggenangannya dapat bersifat musiman ataupun permanen dan ditumbuhi oleh tumbuhan (vegetasi) (Noor, 2007:1). Menurut MacKinnon et al (2000) dalam Noor (2007:2), jenis rawa yang terdapat pada Sumatera Selatan tergolong ke dalam rawa lebak, rawa lebak dikatagorikan sebagai danau dataran banjir yang mempunyai dasar lebih luas dari sungai dan selalu mendapatkan luapan air (banjir) dari sungai-sungai besar sekitarnya. Selain karena luapan sungai, genangan dapat juga bersumber dari curah hujan setempat atau juga banjir kiriman. Sifat ekologi rawa lebak tak terlepas dari bagian ekosistem air tawar, sifat tersebut antara lain berfungsi menyediakan nutrisi untuk organisme akuatik, terutama kelompok nekton (ikan-ikan), tidak hanya itu fungsi lingkungan rawa lebak juga meliputi pencegah banjir dan kekeringan, pemendam karbon, penyimpan dan pendaur air, pencegah gas rumah kaca, penawar pencemaran pedosfer dan hidrosfer, dan sebagai keanekaragaman hayati dan sumber plasma nutfah (Noor, 2007:122). Melihat potensi tersebut, rawa lebak memiliki arti yang sangat penting sebagai penanggulangan global warming yang semakin meningkat, apalagi dengan melihat vegetasi gambut yang subur di wilayah rawa lebak ini, membuat arti penting rawa lebak di Sumatera Selatan semakin bernilai. Berdasarkan pernyataan Notohadinegoro (1966) dalam  Noor, (2007:124), pelepasan karbon di atmosfer setiap hektar hutan yang dibuka dan digunakan sebagai perladangan, dapat dikonvensasi oleh pemendaman karbon dalam 190 hektar lahan gambut setiap tahun, dan diperkirakan 20% dari total global karbon di dunia terpendam (stroge) dalam bentuk gambut (Noor, 2007:124).
Lahan basah pesisir (coastal lowlands) Indonesia memiliki luasan dan potensi ekosistem mangrove yang cukup besar, sekitar 27% dari luas ekosistem mangrove dunia, berada di Indonesia, dari luas tersebut terluas terdapat di Irian sekitar 38,2%, Kalimantan 27,7% dan Sumatera 19,1% (Kusmana,1995; PPK, 2005; DJPHKA, 2008 dalam Hastiana dan Lulu 2012:1). Apalagi, ekosistem mangrove di Indonesia memiliki keanekaragaman spesies yang tinggi (Nontji, 2005 dalam Hastiana dan Lulu, 2012:2). Sebagai salah suatu kawasan hutan, tentunya keberadaan mangrove sangatlah penting sebagai salah satu paru-paru dunia dalam penyerapan karbon, keberadaan hutan ini tentunya juga didukung oleh komponen biotik yang ada di hutan mangrove tersebut, seperti alga hijau dan tumbuhan lainnya yang berperan dalam penyerapan karbon. Oleh karena itu, pemanfaatan dari hutan ini harus dilaksanakan secara rasional, dan pada akhirnya komponen pendukung (carring capacity) seperti ekologis, sosial, budaya dan ekonomi memegang peran penting untuk mempertahankan keseimbangan ekosistem mangrove tersebut (Bahar,2004; Noor,2009; Rauf,2008 dalam Hastiana dan Lulu, 2012:2).

Sumber: www. google.com
Pemanasan global atau yang lebih sering dikenal dengan sebutan global warming merupakan suatu pristiwa naiknya suhu udara yang bersifat global, kenaikan suhu udara ini diakibatkan oleh akumlasi karbon di atmosfer yang membuat panas bumi semakin meningkat.  Terjadinya akumulasi karbon di atmofer sendiri tidak terlepas dari aktivitas manusia seperti penebangan hutan yang meluas, peningkatan pemakaian sistem-sistem produksi/industri atau transportasi yang mendorong terjadinya kenaikan suhu udara di tempat berlangsungnya kegiatan tersebut dan bahkan di belahan bumi lain (Asdak, 2002 dalam Alfitri: 2010:12). Selain dari itu akumulasi karbon yang terjadi diatmosfer juga diakibatkan oleh peristiwa efek rumah kaca, peristiwa ini merupakan peristiwa alamiah yang kejadiannya mirip dengan pantulan panas di dalam rumah kaca yang digunakan petani menanam sayuran pada musim dingin di negara yang mengenal 4 musim (Rohiyat, 2012:3). Proses ini tergambar sebagai bentuk sinar matahari yang masuk untuk membantu proses aimilasi semestinya terpantul ke atmosfer secara sempurna, akan tetapi, adanya bilik kaca dan atap kaca tersebut, maka panas yang seharusnya terpantulkan kembali terjebak di dalam ruang tersebut sehingga suhu udara di dalam bilik kaca (ruangan) tersebut naik dan menjadi hangat (Wardhana, 2010 dalam Rohiyat 2012:3). Sejak akhir abad 18 suhu rata-rata global bumi telah meningkat sekitar 0,4-0,8°C, para ilmuwan memperhitungkan bahwa suhu rata-rata bumi akan meningkat menjadi 1,4-5,8°C pada tahun 2100. Nilai peningkatannya menjadi lebih besar dibandingkan dengan nilai-nilai peningkatan yang pernah terjadi sebelumnya (Merbabu, 2011 dalam Roiyat, 2012; 4).
Sumber: www.google.com
Dampak dari pemanasan global (global warming) cepat atau lambat akan dirasakan manusia, bahkan tanda-tanda akibat pemanasan global sudah mulai terasa sebagai ancaman bagi umat manusia. Dampak pemanasan global merupakan masalah serius yang harus diatasi secara bersama oleh semua negara, baik negara berkembang seperti Indonesia, maupun negara maju seperti Cina dan Amerika Serikat. Dampak pemansan global ini secara luas meliputi aspek atmosfer, hidrosfer, geosfer, dan bioesfer (Wardhana, 2010:83). Aspek atmosfer dirasakan sebagai bentuk perubahan musim, banjir dan tanah longsor, kekeringan dan bencana kelaparan, siklon tropis dan bencana angin ribut (Wardhana, 2010:86). Dampak hidrosfer dirasakan sebagai bentuk berkurangnya luas daratan kutub (terutama kutub selatan), tingginya permukaan air laut, kadar garam dan suhu air laut berubah, dan permukaan air tanah berubah (Wardhana, 2010:94). Dampak aspek geosfer dirasakan sebagai bentuk pergeseran wilayah daratan yang berkurang akibat kenaikan air laut yang memasuki wilayah daratan, bahkan bisa sebaliknya luas suatu wilayah akan semakin bertambah akibat kekeringan yang semakin menjadi, lahan subur menjadi tandus dan bisa menjadi padang pasir (Wardhana, 2010:97). Dampak dalam aspek biosfer, diarasakan sebagai bentuk perubahan yang akan terjadi bagi flora, fauna dan manusia yang ada di planet ini (Wardhana, 2010:101).
 Dengan melihat potensi rawa dan hutan mangrove Taman Nasional Sembilang yang dimiliki oleh Sumatera Selatan, tentunya sangatlah penting untuk tetap mejaga kelestarain dan mengkonservasi wilayah rawa dan hutan mangrove yang sebagian sudah habis akibat aktivitas pembangunan dan penebangan liar. Perlunya keterkaitan pemerintah provinsi, pemerintah daerah, para stakeholder, dan peran masyarakat untuk terus mengembangkan dan mentaati peraturan pembangunan yang tetap memperhatikan aspek lingkungan sebagai penyeimbang ekologi. Pada akhirnya, ketika semua telah bekerja sama, semua ini akan menjadi rangkaian yang saling membangun antara pembangunan ekonomi dan lingkungan.


Sumber Rujukan:

Hastiana, Yetty., dan Yuningsih, Lulu. 2012. Studi Pemahaman  Dan Pengetahuan Masyarakat  yang Bermukim di Zona Pemanfaatan dan Zona Tradisional  terhadap Kawasan Konservasi  Taman Nasional  Sembilang, Sumatera Selatan. Makalah ini Disampaikan pada Seminar Nasional Biologi di Universitas Sumatera Utara Medan. Tanggal 10-11 Mei 2012. Tidak dipublikasikan.

Noor, Muhammad. 2007. Rawa Lebak. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Saputra, Andres. 2012. Kelimpahan dan Diversitas Alga Hujia (Chlorophyta) Berdasarkan Kondisi Akuatik pada Ekosistem Rawa Jakabaring Paembang serta Pengajaranya di SMA Muhammadiyah 3 Palembang. Skirpsi tidak diterbitkan. Palembang: Universitas Muhammadiyah Palembang.

Susanta, Gatut., dan Sutjahjo Hari. 2008. Pemanasan Global. Jakarta:Penebar Swadaya.

Rohiyat. 2012. Estimasi Kandungan Karbon pada Vegetasi Paku-Pakuan di Ekosistem Rawa Jakabaring Palembang serta Pengaarannya di SMA Muhammadiyah 3 Palembang. Skirpsi tidak diterbitkan. Palembang: Universitas Muhammadiyah Palembang.

Wardhana, Wisnu Arya. 2010. Dampak Pemanasan Global. Yogyakarta: ANDI.